Teologi Mu'tazilah
dhilarriqo
Mei 15, 2017
0 Comments
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aliran Mu’tazilah adalah golongan yang
membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis
dari pada persoalan-persoalan yang dibawa kaum Khowarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan,
mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “Kaum Rasionalis
Islam”.
Aliran ini muncul dikota basrah (irak) pada abad ke-2H tahun 105H-110H,
tepatnya pada masa pemerintahan Kholifah Abdul Malik bin Marwan dan Kalifah
Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya Adalah seorang penduduk basrah mantan murid
al-Hasan al Basri yang bernama Wail bin ‘Ata’ al-Makhyumi al-Ghozzal.
Munculnya aliran Mu’tazilah sebagai
reaksi atas pertentangan antara aliran Khowarij dan aliran Murji’ah mengenai
soal orang mukmin yang berdosa besar. Menurut orang Khiwarij, orang mukmin yang
berdoasa besar tidak dapat dikatakan mukmin lagi melainkan sudah menjadi
Tahfidz. Sementara itu kaum Murji’ah tetap menganggap orang mukmin yang berdosa
besar itu sebagai mukmin , bukan kafir. Menghadapi kedua pendapat yang
kontrofersial ini, Wasil bin ‘Ata’ yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri
, seorang ulama terkenal di Basrah, mendahului gurunya mengekuarkan pendapat
bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir.
Tegasnya orang itu bukan mukmin dan bukan pula kafir, tetapi diantara keduanya.
Oleh karena diakhirat nanti tidak ada tempat diantara Surga dan Neraka maka
orang itu memasukan kedalam neraka, tetapi siksaan yang diperolehnya lebih
ringan dari siksaan orang kafir.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah kelahiran Teologi Mu’tazilah ?
2.
Siapa
saja tokoh-tokoh Teologi Mu’tazilah ?
3.
Bagaimana
pemikiran Teologi Mu’tazilah ?
4.
Bagaimana
karakteristik pemikiran dan gerakan Mu’tazilah ?
5.
Apa
pengaruh Teologi Mu’tazilah terhadap perkembangan pemikiran dan pergerakan
dalam dunia islam ?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Sejarah kelahiran Teologi Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah.[1]
Berawal dari peristiwa yang terjadi antara Wasil Ibn ‘Ata’ serta
temannya Amr ibn ‘Ubaid dan Hasan al-Basri di Basrah. Wasil selalu mengikuti
pelajaran-pelajaran yang diberikan Hasan al-Basri di Masjid Basrah. Ketika itu
ada seseorang bertanya kepada al-Hasan di Basrah, apakah pendosa besar harus
dianggap mukmin atau tidak, al-Hasan ragu atas pemikirannya. Kemudian Wasil bin
‘Ata’ mengambil kesempatan itu untuk memberikan penilaian bahwa pendosa besar
bukan mukmin bukan juga kafir tetapi orang itu berada posisi pertengahan (al-munzilah
bain al-munzilatain) yang merupakan salah satu lima dasar teologi
Mu’tazilah. Menurut sejarah, kemudian Wasil memisahkan diri (I’tazala)
dari kelompok al-Hasan dan diikuti oleh beberapa murid Hasan, termasuk Amr Ibn
‘Ubaid. Bentuk ‘pemisahan diri’ dari kalangan al-Hasan di Basrah inilah
etimologi istilah Arab “Mu’tazilah” sering dihubungkan. Dan kata mu’tazilah
tersebut yang diberi nama oleh al-Syahrastani.
Setelah kelahirannya, Mu’tazilah terus berkembang, yang kemudian
terbagi menjadi dua bagian, yaitu Mu’tazilah yang berkembang di Basrah ( Mu’tazilah
Basrah ) dan di Baghdad ( Mu’tazilah Baghdad ).
2.
Tokoh-tokoh Teologi Mu’tazilah
Lahirnya Teologi Mu’tazilah tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang
berperan dalam mengutarakan pendapat-pendapatnya guna mengembangkan Teologi
Mu’tazilah, diantaranya :
a.
Mu’tazilah
Basrah
1)
Wasil
bin ‘Ata’ (80 H – 131 H)
2)
Amr
Ibn ‘Ubaid
3)
Al-Huzail
Al-A’llaf (135 H - 235 H)
4)
Ibrahim
Ibn Sayyar Ibn Hani al-Nazzam ( 185 H – 221 H )
5)
Amr
Ibn Bahr Abu ‘Usman al-Jahiz ( w. 256 H )
6)
Abu
‘Ali Muhammad Ibn Abd al-Wahhab al-Jubba’I ( w. 295 H )
7)
Abu
Hasyim ‘Abd al-Salam ( w. 321 H )
8)
Abu
Musa al-Murdar ( w. 226 H )
9)
Abu
‘Ali al-Juba’I ( w. 935 H )
b.
Mu’tazilah
Baghdad
1)
Mu’tamir
bin Abad
2)
Bisyr
Ibn Mu’tamar
3)
Abu
al-Hasan Muhammad Ibn Tayyib al-Basri
4)
Al-Hasan
Ibn Raja al-Dahlan
5)
Hisyam
Ibn Amr al-Fuwati
6)
Abu
al-Husain al-Khayyat ( w. 300 H )
7)
Summah
Ibn Asyrar ( w. 213 H )
3.
Pemikiran Teologi Mu’tazilah
Mu’tazilah memiliki dasar-dasar pemikiran dalam mengembangkan
alirannya, yang disebut dengan al-Usul al-Khomsah atau lima ajaran yang
menjadi pegangan kaum Mu’tazilah, yaitu :[2]
a.
Al-Tauhid
At-Tauhid atau ke-Maha
Esaan Tuhan yang dimaksud oleh kaum Mu’tazilah adalah dengan peniadaan
sifat-sifat Tuhan, ialah memandang sebagian dari apa yang disebut golongan lain
sifat, sebagai hakikat Tuhan, dan sebagian lain perbuatan-perbuatan Tuhan. Kaum
Mu’tazilah membagi sifat-sifat Tuhan ke dalam dua golongan:
1)
Sifat
Zatiah yang merupakan sifat-sifat hakikat
Tuhan. Seperti, wujud ( al-wujud ), kekekalan dimasa lampau ( al-qidam
), hidup ( al-hayah ), kekuasaan ( al-qudrah )
2)
Sifat
Fi’liah yang merupakan perbuatan-perbuatan
Tuhan. Seperti, kehendak ( al-iradah ), sabda ( kalam ), keadilan
( al-‘adl ), dan sebagainya.
Faham ini
timbul karena keinginan mereka untuk menjaga murninya ke-Maha-Esaan Tuhan, yang
dusebut tanzih dalam istilah Arab.
b.
Al-‘Adl
Al-‘Adl merupakan keinginan
mensucikan Tuhan dari persamaan dengan perbuatan makhluk. Hanya Tuhanlah yang
berbuat adil, Tuhan tidak bisa berbuat dzalim.
c.
Al-Wa’d
wa al-Wa’id
Al-Wa’d wa al-Wa’id
merupakan janji dan ancaman. Tuhan tidak akan disebut adil, jika ia tidak
memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan jika tidak menghukum orang
yang berbuat buruk. Keadilan menghendaki supaya orang yang bersalah diberi
hukuman dan orang yang berbuat baik diberi upah, sebagaimana dijanjikan Tuhan.
d.
Al-Manzilah
bain al-Manzilatain
Al-Manzilah bain al-Manzilatain
merupakan posisi menengah bagi berbuat dosa besar, juga erat hubungannya dengan
keadilan Tuhan. Pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya
kepada Tuhan dan Nabi Muhammad SAW, tetapi bukanlah mu’min karena imannya tidak
lagi sempurna. Karena bukan mu’min ia tidak dapat masuk surga, dank arena bukan
kafir pula, ia sebenarnya tak mesti masuk neraka. Ia seharusnya ditempatkan
diluar surge dan luar neraka inilah sebenarnya keadilan. Tetapi karena
diakhirat tidak ada tempat selain dari surge dan neraka maka pembuat dosa
besar, harus dimasukkan kedalam salah satu tempat ini. Penentuan tempat itu
banyak hubungannya dengan faham Mu’tazilah tentang iman.
e.
Al-‘Amr
bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar merupakan perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat,
dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh
golongan umat Islam lainnya.
4.
Karakteristik pemikiran dan gerakan Teologi Mu’tazilah
Faktor-faktor pembentuk atau yang
mempengaruhi pemikiran mu’tazilah sangat penting diketahui untuk melihat
kesadaran akan rasionalitas yang menjadi karakter khas mu’tazilah, diantaranya:
a.
Rasionalisme
religious. Dalam arti rasionalisme, bingkai wahyu atau rasionalisme yang
menyesuaikan dengan wahyu
b.
Kebebasan
dan tanggung jawab manusia, kebebasan ini memiliki arti bahwa Allah telah
menurunkan wahyu sebagai batas koridor yang jelas bagi ruang kebebasan
berkehendak bagi manusia untuk memilih mana yang baik dan buruk
c.
Sikap
kritis, sejarah awal Mu’tazilah mencatat bahwa ia lahir sebagai sebuah bentuk
kritik terhadap fenomena sosial politik pada masa itu
d.
Inklusif-Akomodatif (terbuka), inklusif disini memiliki arti bahwa mereka bisa
menerima berbagai macam pemikiran
5.
Pengaruh Teologi Mu’tazilah terhadap perkembangan pemikiran dan
pergerakan dalam dunia islam
Gertz menangkap kesan bahwa modernis
Muslim Indonesia cenderung pada pandangan neo-Mu’tazilah tentang doktrin taqdir
(predetermination). Dia memperlawankan antara muslim tradisional, yang
menurutnya selalu menghubungkan segala sesuatu kepada kehendak Tuhan, dan
modernis yang menghubungkan kekuasaan dan kegagalan dalam aspek material kepada
perbuatan manusia. (Geerzt:150-152)
Kaum Modernis Indonesia mengusulkan
kombinasi teologi Asy’ariyah, pendekatan kaum fundamentalis terhadap persoalan
hukum dan ibadah, serta pemahaman terhadap dunia natural yang mengakar dalam
tradisionalisme ilmu pengetahuan barat. Kaum modernis mengklaim tentang hanya
praktik ibadah yang betul-betul bisa dihubungkan kepada Nabi Muhammad saja yang
dibolehkan.
Semenjak kemerdekaan Indonesia ,
fokus wacana teologi Islam telah bergeser dari pelaksanaan ibadah kepada
penelitian terhadap solusi Islam untuk masalah sosial, ekonomi dan politik.
Ketika tumpukan persoalan barru tersebut telah menarik perhatian intelektual
Muslim, maka intensitas perdebatan antara kaum modernis dan tradisional tentang
pelaksanaan ibadah telah semakin berkurang. Intelektual Muslim mulai masuk pada
ekonomi, politik dan sosial. Semenjak tahun 1950 sampai berdirinya pemerintahan
orde baru, peran Islam dalam sistem politik Indonesia mendominasi wacana Islam,
hal ini sudah menjadi wacana ideology.
Semenjak tahun 1965, pemerintah
Indonesia telah menerapkan kebijakan pembatasan peranan organisasi Islam dalam
proses politik. Sangat nyata bagi kaum muslimin Indonesia bahwa pemerintah
ingin menjauhkan dari bagian-bagian kesadaran Islam masyarakat Indonesia.
Meskipun populasi Muslim di Indonesia yang paling banyak di dunia, namun Islam
dilecehkan dalam proses pembangunan negara, dan Muslim-muslim yang taat tidak
mampu bersaing dengan China,Kristen,dan minoritas lainya dibidang Ekonomi.
Dalam era ideologi menuntut intelektual muslim untuk mempunyai pandangan baru
tentang peran Islam dalam masyarakat Indonesia.
BAB III
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kaum Mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada
persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan murji’ah.
Lahirnya Teologi Mu’tazilah tidak terlepas dari tokoh-tokoh yang
berperan dalam mengutarakan pendapat-pendapatnya guna mengembangkan Teologi
Mu’tazilah. Tokoh-tokoh yang dibagi pada 2 bagian Mu’tazilah yaitu Mu’tazilah
Basrah dan Mu’tazilah Baghdad.
Mu’tazilah memiliki dasar-dasar pemikiran dalam mengembangkan
alirannya, yang disebut dengan al-Usul al-Khomsah atau lima ajaran yang
menjadi pegangan kaum Mu’tazilah, yaitu At-Tauhid, Al-‘Adl ,
Al-Wa’d wa al-Wa’id , Al-Manzilah bain al-Manzilatain ,
Al-‘Amr bi al-Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar
Faktor-faktor pembentuk atau yang mempengaruhi pemikiran mu’tazilah
sangat penting diketahui untuk melihat kesadaran akan rasionalitas yang menjadi
karakter khas mu’tazilah.
Modernis
Muslim Indonesia cenderung pada pandangan neo-Mu’tazilah tentang doktrin taqdir
(predetermination). Dia memperlawankan antara muslim tradisional, yang
menurutnya selalu menghubungkan segala sesuatu kepada kehendak Tuhan, dan
modernis yang menghubungkan kekuasaan dan kegagalan dalam aspek material kepada
perbuatan manusia.